Boku no Ita Jikan: a Japanese TV series
Watch: dramago.com
Aku adalah orang yang skeptis. Kadang-kadang aku akan membenci adegan
dramatis hanya karena aku tidak mempunyai perasaan yang sama dengan karakter
yang kulihat. Sebagai manusia pun, aku merasa aku tidak punya perasaan dengan
jumlah yang sewajarnya. Not nearly enough.
Dan aku masih ingat bagaimana teman sekelasku berkata kalau dia sangat ingin
melihatku menangis.
Because really, I look tough.
Jadi ketika aku memulai menonton drama ini, secara alami, aku hanya
tertarik karena ada Miura Haruma (summary-nya
mengungkapkan kalau ini adalah drama sedih dan normally aku tidak menyukai drama sedih). Aku bahkan berhenti saat
mencapai episode 3 dan butuh bermingu-minggu untuk melanjutkan kembali.
Hal yang paling menyebalkan dari menonton drama ini adalah ketika aku
mengingat samar-samar tokoh nyata yang berjudul Stephen Hawking. Why? Tentu saja karena tokoh utamanya
mengidap penyakit yang sama. Aku tidak begitu tau Stephen Hawking, jadi awalnya
aku mengira, mungkin dia terkena ALS pada usia yang lebih tua dari Takuto. Tapi
selalu ada halaman wiki untuk orang terkenal
dan aku terlalu malas untuk melihat halaman lain. Sepertinya gejala ALS tidak
muncul seakhir yang kubayangkan. Dan tidak secepat yang digambarkan di drama.
Well, awalnya aku akan menulis bagusnya drama ini, tapi aku menulis ini
setelah sekian lama dari aku selesai menonton episode terakhir dan sisi
emosional-ku sudah menghilang. Anyway,
there's not that much of angst here. Atau angst yang ada di sini terlalu jauh dari hidupku dan aku tidak
menganggapnya sebagai angst.
Biasanya, drama dengan tokoh utama yang penyakitan dan mau mati itu akan
mengalirkan air mata penontonnya--atau air liur kalau dramanya terlalu keren, tapi aku tidak ingat aku menangis menonton
drama ini. Sekali lagi, semua itu salah Stephen Hawking yang muncul di The BigBang Theory dengan wujud yang tetap keren (not
that I know apa yang membuatnya keren sebelum aku melihat halaman wiki itu,
yang tetap saja aku tidak memahaminya).
Hal menyebalkan lainnya adalah, meskipun Takuto memutuskan untuk menjadi
seperti kucing, melepaskan apa yang dicintainya di saat dia akan 'pergi', aku
tetap tidak mengaguminya. Well,
sebagian besar itu karena aku mengagumi karakter yang bisa jujur kepada
pasangannya tentang apa pun (karena aku tidak bisa menjadi seperti itu) dan
Takuto memilih untuk melarikan diri. Just
like me.
Kenapa aku menulis the man who will
not die sebagai headline? Karena
meskipun Takuto dengan egois-nya menyimpan masalahnya sendiri, pada
episode-episode akhir dia mulai menyadari kalau hidupnya bukanlah miliknya
sendiri. Sebuah kalimat menyebalkan yang kupajang di tembok kamarku: because your life is not only yours.
Mereka yang yang sudah kusentuh hidupnya, akan secara sadar atau pun tidak,
mempengaruhi apa yang kulakukan terhadap hidupku. Itu juga yang mendasari
keputusan Takuto untuk tetap hidup. Pada awalnya dia berpikir hidup adalah
menjalani pilihannya dan tetap bahagia karenanya. Tapi tentu saja hidup tidak
semudah itu. Ketika aku menyadari ada orang lain yang menggantungkan
kebahagiannya padaku, aku tidak lagi bisa bahagia semauku. Mungkin itu yang
membuat Takuto ingin hidup lebih lama: demi kebahagiaan mereka yang
menggantungkan kebahagiaannya pada Takuto.
The lucky thing is: tidak ada ending yang menunjukkan
kematian Takuto. Karena aku pasti akan sangat tidak puas dengan ending semacam
itu. Klise.
Best quote menurutku: it's
not that I want to die, it's because living is scary.
Best emotion menurutku: bagaimana dia tidak bisa membenci
ibunya meskipun sang ibu selalu mengabaikannya. Karena bagaimanapun, seorang
anak akan selalu merindukan pengakuan dari ibunya.
Me too, some days.